Jakarta, INFO_PAS – Peraturan Pemerintah No. 99
Tahun 2012 (PP 99) tentang Perubahan Kedua atas PP No 32 Tahun 1999
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
saat ini masih berlaku. Namun pro dan kontra masih saja terjadi sejak
PP tersebut dikeluarkan. Pihak yang pro menyatakan bahwa PP tersebut
sebagai sebuah kebijakan tepat untuk mengerem obral pengurangan masa
hukuman. Sementara pihak lain berpendapat bahwa remisi dan Pembebasan
Bersyarat merupakan hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang sudah
diatur dalam UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Kriminolog FISIP Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, pada acara
Seminar Nasional ‘Pemberian Hak Remisi dan Pembebasan Bersyarat Bagi
warga Binaan Pemasyarakatan Pelaku Tindak Pidana Khusus (baca :
Menkumham: Pemasyarakatan Bertugas Membina, Bukan Membinasakan )
yang digelar di Kampus Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Kamis
(12/3), menyatakan bahwa PP 99 perlu dilikuidasi. Apa saja alasannya?
- Tidak Pas Dengan Filosofi Penghukuman Dunia
Komisioner KOMPOLNAS ini berpendapat bahwa filosofi penghukuman sudah
lama meninggalkan filosofi pembalasan dan penjeraan. Sebaliknya,
filosofi yang kini populer adalah rehabilitasi. “Ke depan, akan datang
dan harus disambut oleh Indonesia adalah filosofi restorasi,” ungkap
pemilik nama lengkap Adrianus Eliasta Meliala ini.
- Tidak Pas Dengan Filosofi Pemasyarakatan Indonesia
Sementara itu, apabila dihadapkan pada filosofi Pemasyarakatan
Indonesia, pria kelahiran Sungai Liat ini menyatakan bahwa PP 99 tidak
pas dengan filosofi Pemasyarakatan di Indonesia. “Filosofi
Pemasyarakatan Indonesia adalah reintegrasi sosial. Perlu diperjelas,
apakah vonis hakim terhadap terdakwa sudah mencakup potongan masa
hukuman dalam bentuk
early release atau tidak bagi WBP. Agar
clear. Early release programs adalah untuk mengurangi dampak buruk prisonisasi,” paparnya.
- Melanggengkan Citra Lama Penjara Pada Lapas
Citra Penjara menurut Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan ini
adalah sebagai pembawa derita atau pencipta derita. “Kehilangan
kemerdekaan akibat inkapasitasi fisik adalah satu-satunya derita itu,”
katanya. “Konsep ‘Lembaga Pemasyarakatan’ pada dasarnya mengganti,
setidak-tidaknya memitigasi, peran dan citra lama penjara,” ujar pria
yang memperoleh gelar PhD. Program Kriminologi, Jurusan Antrropologi dan
Sosiologi di The University of Queensland. “Pengetatan pemberian remisi
sepenuhnya terkait dengan peran dan citra lama penjara, bukan dalam
konteks peran dan citra Lembaga Pemasyarakatan,” tambahnya.
- Tidak Pas Dengan Tujuan Penegakan Hukum Kasus Korupsi
“Tujuan utama penegakan hukum kasus korupsi adalah mengembalikan
sebanyak-banyaknya kerugian negara, baru kemudian penghukuman terhadap
pelakunya. Tapi pada kenyatannya, terlepas dari banyak tidaknya kerugian
negara yang dapat diselamatkan, seolah tidak ada hubungannya dengan
penghukuman terhadap pelakunya,” jelas ayah dari tiga anak ini.
- PP 99 Bersifat Deskriminatif
Adrianus menyatakan bahwa PP 99 ini deskriminatif dan bertentangan dengan
United Nations Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners
(SMR). “Pembedaan perlakuan hanya bisa dikaitkan dengan pelaksanaan
kegiatan Pemasyarakatan di Lapas,” ujarnya. Pasal 6 ayat 1 SMR
menyatakan : “Aturan-aturan berikut ini berlaku secara
impartial
(tidak memihak). Tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau opini lain,
kebangsaan atau golongan sosial, kekayaan, keturunan atau status lain.”
- Menutup Peluang Memodifikasi Perilaku
“Praktisi Pemasyarakatan mempergunakan prinsip perilaku
stimulus-respons, khususnya mengoptimalkan varian
punishment-reward, dalam rangka memunculkan
operant conditioning
menuju terbentuknya perilaku permanen,” ucap Adrianus. “Namun,
pengetatan pemberian remisi menggugurkan penggunaan prinsip tersebut. Di
pihak lain, praktisi Pemasyarakatan memiliki keterbatasan cara lain
guna memodifikasi perilaku,” papar lulusan S2 Psikologi Sosial Fakultas
Psikologi UI.
- Budaya Penjara Terganggu
Adrianus menganggap pemberlakuan PP 99 ini telah mengganggu budaya
yang ada di penjara. “WBP yang terkena pengetatan pada umumnya
berpengaruh, terdidik dan kaya, mereka ini bisa mempengaruhi WBP
lainnya. Tidak adanya insentif bagi perilaku baik melahirkan WBP dengan
perilaku onar dan provokator. Ini menyebabkan hubungan antara WBP dan
petugas menjadi tegang,” jelasnya.
- Tidak Ada Kaitan Dengan Residivisme
Suami dari Rosari Ginting ini menyatakan bahwa pemberian remisi tidak ada kaitanya dengan residivisme atau
repeat offence. Narapidana korupsi pada umumnya
first offender,
sehingga pasti sudah kapok (baca: jera) untuk menjadi terpidana
kembali.“Khusunya pelaku korupsi, amat terkait dengan jabatan dan
kekuasaan, hal mana tidak akan dimilikinya lagi pasca keluar dari
Lapas,” katanya.
- Terbukti Menambah Masalah Bagi Lapas
“Pemberlakuan PP 99 ini terbukti menambah masalah bagi Lapas, ada
insiden Lapas Tanjung Gusta dan insiden lain yang tidak diberitakan.
Bahkan ada rasa cemas yang dihadapi praktisi Pemasyarakatan setiap kali
datang musim pemberian remisi,” demikian papar pria kelahiran September
1966.
- Selaraskan Dengan Kecenderungan Pemerintah
Dosen Departemen Kriminologi Universitas Indonesia ini lebih lanjut
menilai bahwa walaupun sama-sama pro pada pemberantasan korupsi,
Pemerintah Jokowi-JK nampaknya menempuh gaya yang berbeda. “Revisi,
kalau bukan likuidasi, PP 99 seyogyanya dikaitkan dengan perubahan
kecenderungan gaya yang berbeda tersebut,” pungkasnya.
Penulis : JP Budi Waskito
Sumber : http://www.pemasyarakatan.com/inilah-alasan-pp-992012-perlu-dilikuidasi/